Tinjauan atas Upaya Penafsiran Al-Qur’an secara Tematik dan Pendekatan Saintifik
A. Pendahuluan Al-Qur'an diturunkan dalam bentuk bahasa Arab sebagai "Hudal Linnas (هدي للناس)”, sehingga dapat memberikan bimbingan dan petunjuk kepada manusia untuk berusaha memecahkan setiap permasalahan hidupnya (problem solving). Namun, hal itu memerlukan penafsiran Al-Qur'an secara baik dan benar berdasarkan pendekatan-pendekatan (approach) ilmu tafsir itu sendiri supaya orang-orang atau kelompok-kelompok manusia tidak mentafsirkan Al-Qur'an secara sembarangan berdasarkan kepentingan hawa nafsunya sendiri, yang akibatnya akan membawa kesesatan dan kehancuran Islam.
Dalam menafsirkan Al-Qur’an diperlukan “Thariqah at-Tafsir”, yaitu metode atau cara dalam menafsirkan Al-Qur’an. Ketepatan metode akan menghasilkan ketepatan tafsir. Sebaliknya kesalahan metode akan melahirkan kesalahan tafsir. Itulah sebabnya kajian tentang metode penafsiran merupakan aspek strategis dalam menggali dan menemukan kandungan Al-Qur’an itu sendiri.
B. Empat Metode Penafsiran Al-Qur’an
Para ulama tafsir menjelaskan bahwa terdapat empat metode dalam menafsirkan Al-Qur’an. Empat metode tersebut adalah:
1. At-Tafsir At-Tahlili (Tafsir Metode Analistis).
2. At-Tafsir Al-Ijmali (Tafsir Metode Global).
3. At-Tafsir Al-Muqarin (Tafsir Metode Komperatif).
4. At-Tafsir Al-Maudhu'i (Tafsir Metode Topikal).
Keempat metode ini dipakai oleh para mufassir sesuai dengan kecenderungan yang mereka miliki masing-masing terhadap metode tersebut.
Al-Tafsir At-Tahlili adalah tafsir dengan metode mengurai dan menganalisa ayat-ayat Al-Qur’an secara berurutan dengan membahas segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya. Di samping diberi nama tahlili metode ini juga dikenal juga dengan nama at-Tafsir at-Tajzi’i yang secara harfiah berarti penafsiran berdasarkan bahagian-bahagian.
Sebagai metode yang paling awal muncul dalam studi tafsir, metode tahlili ini memberikan perhatian sepenuhnya kepada semua aspek yang terkandung dalam ayat, mencakup :
At-Tafsir Al-Ijmali, yakni metode tafsir yang mengemukan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an secara global. Dengan metode ini mufassir hanya menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara garis besar, tanpa perincian detail sama sekali. Oleh sebab itu penafsiran yang disajikan terasa ringkas dan padat, menyangkut kata-kata yang memerlukan penjelasan yang sangat diperlukan saja.
Adakalanya metode ijmali ini terkesan menterjemahkan kata saja. Tetapi penterjemahan di sini dimaksudkan memberi tafsir tentang kata yang sedang diterjemahkan itu, bukan hanya mengalih bahasa. Itu sebabnya metode ijmali terkesan membiarkan Al-Qur’an menjelaskan dirinya sendiri. Al-Qur’an sendirilah menjelaskan makna-makna sehingga lafadz-lafadz ayat-ayat Al-Qur’an menjadi lebih jelas.
Dalam menafsirkan ayat, mufassir juga terkadang memasukkan riwayat berkaitan dengan asbabun nuzul ayat yang sedang ditafsirkan. Kelihatannya menukil asababun nuzul ini tidaklah terlihat menjadi syarat mutlak dalam penafsiran ijmali. Namun pencantuman asbabun nuzul tersebut memberikan nilai tambah bagi metode ijmali ini. Tafsir klasik yang disajikan dengan metode ijmali ini antara lain adalah Tanwir al-Miqbas min Tafsir ibn Abbas, karya Ibnu Abbas dan Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, karya Imam Jalaluddin as-Suyuti dan Jalaluddin Al-Mahalli.
At-Tafsir al-Muqarin (tafsir perbandingan), yakni tafsir yang mempergunakan metode perbandingan (analogi). Apa yang diperbandingkan dalam tafsir al-muqarin ini ? Yang diperbandingkan adalah antara penafsiran satu ayat dengan penafsiran ayat yang lain, yakni ayat-ayat yang mempunyai kemiripan redaksi dari dua masalah atau kasus yang berbeda atau lebih, atau ayat-ayat yang memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama atau diduga sama. Juga membandingkan antara penafsiran ayat Al-Qur’an dengan hadits Rasulullah SAW serta membandingkan pendapat ulama tafsir yang satu dengan yang lain dalam penafsiran Al-Qur’an.
Namun satu hal perlu ditegaskan di sini bahwa at-Tafsir al-Muqarin hanya berfokus pada persoalan redaksi yang berbeda antara ayat-ayat Al-Qur’an, bukan dalam aspek pertentangan maknanya. Sebab dalam aspek makna, memang terdapat perbedaan, karena kosakata Al-Qur’an sering mengandung makna yang berbilang. Imam Al-Zarkasyi menginventaris terdapat delapan macam variasi redaski ayat-ayat Al-Qur’an, yakni perbedaan tata letak dalam kalimat, pengurangan dan penambahan huruf, pengawalan dan pengakhiran, perbedaan nakirah (indefinite noun) dan ma’rifah (definite noun), perbedaan bentuk jamak dan bentyuk tunggal, perbedaan penggunaan huruf kata depan, perbedaan penggunaan kosakata dan perbedaan penggunaan idgham (memasukkan satu huruf ke huruf yang lain).
Kitab tafsir yang termasuk ke dalam tafsir muqaran ini adalah The Quran and Its Interpreters, karya Mahmud Ayyoub. Tafsir ini mencoba memperbandingkan beberapa tafsir dari para mufassir yang berbeda latar belakang aliran, mazhab dan disiplin ilmunya, seperti Ibnu Araby (tafsir sufi), Ibnu Katsir (mazhab Syafi’I dan Salafi), Al-Wahidi (tafsir lughawi) Al-Qurthuby (mazhab Maliki), Al-Zamakhsyari (tafsir Mu’tazili), Al-Razy (tafsir Sunny), Al-Qumi dan Al-Thabrai (Syi’ah klassik), Thabathaba’I (Syi’ah modern) dan Sayyid Quthb (ijtima’i).
Al-Tafsir al-maudhu’i, atau tafsir tematik, adalah tafsir yang menggunakan metode tematik dalam menafsirkan Al-Qur’an. Yang dimaksud dengan tematik adalah suatu tema yang ditetapkan oleh mufassirnya dengan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan tema tersebut menjadi satu kesatuan dan melakukan analisis terhadap ayat-ayat tersebut secara spesifik dengan syarat dan langkah khusus. Tujuannya adalah untuk menemukan makna dan konsep, sesuai dengan tema yang sedang dibahas serta menarik hubungan satu dengan lainnya sebagai satu kesatuan.
Semangat esensial dari metode maudhu’i adalah mengajak Al-Qur’an untuk menjelaskan sendiri apa yang dimaksudnya. Dengan kata lain metode maudhu’i berupaya menangkap makna Al-Qur’an sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh Al-Qur’an sendiri, tanpa interfensi pemikiran mufassirnya terhadap tafsir tersebut. Pendek kata metode maudhu’i membiarkan Al-Qur’an berbicara tentang dirinya sendiri.
Kitab-kitab tafsir yang termasuk ke dalam tafsir maudhu’i ini adalah Al-Insan fil Qur’an dan Al-Mar’ah fil Qur’an karya Abbas Mahmud Aqqad, Ar-Riba fil Qur’an dan Al-Musthalahat al-Arba’ah fi al-Qur’an karya Abu Al-A’la al-Maududi
C. Lebih Jauh dengan Metode Tematik
Sebagaimana disebut di atas, metode tematik mempergunakan penafsiran dengan cara membiarkan Al-Qur’an berbicara tentang dirinya sendiri. Hal ini berimplikasi kepada cara menemukan ayat atau surah Al-Qur’an dalam satu kesatuan tema. Kesatuan tema itulah yang menuntun penafsiran sehingga ayat-ayat yang ditafsirkan itu tidak keluar dari apa yang diinginkan oleh tema yang sudah ditetapkan.
Dalam prakteknya, tafsir tematik dapat dibagi ke dalam dua kategori. yakni : Pertama, metode tematik yang berfokus pada satu surah al-Qur’an. Metode ini menafsirkan al-Qur’an dengan cara membahas satu surah tertentu dari al-Qur’an dengan mengambil bahasan pokok dengan menguraikan secara panjang lebar dari surah yang dimaksud.
Kategori tafsir tematik berdasarkan surah ini digagas pertama kali oleh Syaikh al-Azhar, Syaikh Mahmud Syaltut, yang menerbitkan tafsirnya Tafsir al-Qur’an al-Karim, pada Januari 1960. Syaltut menafsikan Qur’an ayat demi ayat, tetapi dengan jalan membahas surah demi surah atau bagian suatu surah, dengan menjelaskan tujuan-tujuan utama serta petunjuk-petunjuk yang dapat dipetik dari padanya. Walaupun ide tentang kesatuan tujuan dan isi petunjuk surah demi surah telah pernah dilontarkan oleh Asy-Syathibi (wafat 1388 M), tetapi perwujudan ide dalam satu kitab tafsir, baru dimulai oleh Mahmud Syaltut.
Kedua, metode tematik berdasarkan topik/subjek. Metode tematik subjek ini adalah menafsirkan al-Qur’an dengan cara menetapkan satu subjek tertentu untuk dibahas. Misalnya ingin mengetahui bagaimana konsep kufur menurut Al-Qur’an, atau wanita menurut Al-Qur’an. Metode tematik subjek ini pertama sekali digagas oleh Prof. Dr. Ahmad Al-Kumi, Ketua Jurusan Tafsir pada Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar.
Kemudian bermunculan kajian tafsir dengan mempergunakan metode tersebut di Universitas Al-Azhar. Antara lain apa yang ditulis oleh Prof. Dr. Al-Husein Abu Farhah yang menerbitkan karyanya Al-Futuhat al-Rabbaniyyah fi Tafsir Al-Maudu’i li al-Ayati al-Qur’aniyyah. Karya ini terbit dalam dua jilid dengan memilih sekian banyak topik yang dibicarakan Al-Qur’an. Juga pada masa ini dapat disebut karya Sayyid Quth Masyahid al-Qiyamah fil Qur’an.
Metode tematik semakin mendapat tempatnya dalam blantika kajian Al-Qur’an. Metode tersebut dikembangkan dan disempurnakan lebih sistematis oleh Prof. Dr. Abdul Hay al-Farmawi, pada tahun 1977. Beliau menulis kitabnya yang menjadi rujukan utama dalam metode tematik ini, yakni al-Bidayah fit Tafsir al-Maudu‘i: Dirasah Manhajiyah Maudu‘iyah. Di tangan Farmawy sistematika metodologis tafsir maudhu’i tersusun dengan sempurna, yang meliputi :
a. Menetapkan topik (maudhu’) yang akan dibahas.
b. Menghimpun seluruh ayat yang berkaitan dengan topik tersebut.
e. Menyusun pembahasan secara sistematis, runtut dan utuh.
f. Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadis yang relevan.
g. Menganalisis ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayat yang mempunyai pengertian sama, mengkiompromikan antara yang ‘am (umum) dan yang khas (khusus) antara yang mutlaq dan yang muqayyad, sehingga semua bertemu dalam satu pengertian, tanpa perbedaan dan pemaksaan.
Agaknya tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa akhir-akhir ini tafsir tematik ini menjadi trend yang mendapat perhatian luas di kalangan para penafsir Al-Qur’an. Berbagai kitab tafsir tematik dihasilkan oleh para mufassirnya.
Di Indonesia, tafsir tematik baru populer pada tahun 80an, sejak dibukanya program doctor pada Fakultas Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan IAIN Sunan Kalijogo Yogyakarta. Mulai saat itu muncul beberapa disertasi yang melakukan kajian tafsir dengan metode maudhu’i. Hal itu dimulai dari studi yang dilakukan oleh Dr. Harifuddin Cawidu dengan disertasinya berjudul Konsep Kufr dalam Al-Qur’an : Suatu Kajian Teologis dengan Pendekatan Tafsir Tematik. Disertasi ini diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang, Jakarta dengan cetakan pertama pada tahun 1991. Sesudah Konsep kufr ini, beberapa kajian tematik Al-Qur’an mulai bermunculan.
Namun, sebelum itu patut dicatat, sebuah karya yang bernuansa tafsir tematik pernah dihasilkan pada tahun 1977. Tafsir itu adalah karya Abdurrahman Syahab yang diberi judul Al-Qur’an dan Science (tafsir As Samawat). Sebenarnya kitab tafsir ini berasal dari artikel bersambung yang dimuat di dalam majallah Gema Islam dan Panji Masyarakat, pimpinan Buya Hamka.
D. Tafsir dengan Pendekatan Saintifik Tafsir dengan pendekatan saintifik ini disebut dengan At-Tafsir al-‘Ilmi. yakni penafsiran Al-Qur’an yang dihubungkan dengan ilmu pengetahuan atau sains. Ayat-ayat Al-Qur’an yang ditafsirkan dengan pendekatakan ilmiah ini lebih banyak tertuju kepada ayat-ayat penciptaan alam. Ayat-ayat penciptaan alam itu disebut dengan ayat-ayat kawniyah. Oleh sebab itu untuk melakukan tafsir saintifik ini, mufassir haruslah melengkapi dirinya dengan teori-teori sains.
Tafsir dengan metode saintifik ini didefinisikan sebagai “ijtihad atau usaha keras mufassir untuk mengungkap hubungan ayat-ayat kawniyah di dalam Al-Qur’an dengan penemuan-penemuan ilmiah yang bertujuan untuk memperlihatkan kemu’jizatan Al-Qur’an”. Dewasa ini, al-tafsir al’ilmi berkembang menjadi al-tafsir al-maudhu’i. Para mufassir memilah dan memilih ayat-ayat Al-Qur’an dan kemudian membahasnya berdasarkan disiplin ilmu dan kemudian menafsirkannnya berdasarkan terori-teorii lmiah.
Berdasarkan perkembangan al-tafsir al-‘ilmi tersebut di atas, maka terdapat berbagai penilaian para pakar tentang fungsinya terhadap Al-Qur’an. Yakni sebagai tabyin, pembuktian kebenaran mu’jizat Al-Qur’an dan memperkuat teori ilmu pengetahuan modern. Dalam fungsinya sebagai tabyin (penjelas), tafsir ini menjelaskan teks Al Quran dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang pada masanya. Berbagai penemuan sains dan teknologi diajak berbicara untuk dapat menjelaskan apa yang dimaksud ayat-ayat Al-Qur’an yang memberikan isyarat kearah itu.
Fungsinya sebagai pembuktian kebenaran Al-Qur’an sebagai mu’jizat mendapat tempat yang absah dalam penemuan ilmiah. Melalui penemuan ilmiah itu pembuktian atas kebenaran teks Al Quran dalam pandangan ilmu pengetahuan dapat diuji dan dijelaskan, yang pada giliran berikutnya dapat memberikan stimulan bagi umat Islam untuk mengembangkan diri dalam kajian-kajian ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan fungsinya untuk memperkuat teori ilmu pengetahuan modern dapat dilihat dari berbagai isyarat Al-Qur’an tentang fenomena alam.
Namun, al-tafsir al-‘ilmi tidaklah sepi dari kritik. Kritik tersebut terletak pada penemuan ilmiah yang tidak pernah berhenti. Sifatnya yang relatif dan nisbi membuat teori-teori ilmiah tidak mutlak dan absolut. Dalam bidang ilmiah apa yang dikatakan benar hari ini, sepuluh tahun yang akan datang akan mengalami revisi. Teori ilmiah dalam kurun waktu tertentu pasti mengalami perubahan. Teori lama akan digantikan oleh teori baru sesuai dengan penemuan terbaru dalam bidang bersangkutan.
Sebagai contoh teori tentang Tata Surya atau Bima Sakti. Teori lama susunan planet-planet yang terdapat dalam tata surya kita adalah sebuah matahari dan sembilan planet, yakni Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus dan Pluto. Tetapi dewasa ini Pluto tidak dimasukkan lagi ke dalam jajaran planet. Juga apa yang disebut oleh Al-Qur’an surah Az-Zumar ayat 6 : ”Ia ciptakan kamu dalam perut ibumu, penciptaan demi penciptaan dalam tiga kegelapan (fi zhulumatin tsalatsin)”. Dahulu kata zhulumatin tsalatsin diartikan perut, rahim dan tulang belakang. Dengan kemajuan ilmu kedokteran, tiga kegelapan itu adalah tiga selaput dalam rahim, yaitu chorion, omnion dan dinding uterus.
Di dalam penafsiran Al-Qur’an kata dzarrah konsep esensialnya adalah sesuatu yang paling terkecil. Pada tahun 20an Mahmud Yunus menafsirkan kata dzarrah dengan biji bayam. Pada tahun 1950 terbit tafsir Al-Qur’an al-Karim karya Zainuddin Hamidi dan Fachrudin HS yang menafsirkan kata dzarrah dengan debu. Pada tahun 1966 terbit Tafsir Al-Azhar yang menafsirkan kata dzarrah dengan atom. Kalau konsep dasarnya adalah seusatu yang terkecil, maka dalam sains sekarang ini atom tidak lagi yang terkecil. Atom sudah dapat dipecah lagi, bila dibawa ke laboratorium.
Oleh sebab itu tafsir dengan metode saintifik memang memberikan nilai tambah bagi pemahaman kita terhadap isyarat-isyarat ilmiah dalam Al-Qur’an. Pemahaman tentang apa yang disebut oleh Al-Qur’an dapat dikembangkan dan dijelaskan lebih rinci dan lebih terurai. Namun satu hal yang perlu disadari bahwa penafsiran yang diberikan terhadap isyarat ilmiah Al-Qur’an itu bukanlah kebenaran final, karena penemuan ilmiah tidak pernah berhenti. Dengan demikian maka tafsir saintifik yang dihasilkan oleh mufassir, tidak boleh dipandanag sebagai kebenaran mutlak.
Penutup
Tafsir Al-Qur’an memang sangat diperlukan. Tanpa tafsir Al-Qur’an, maka Al-Qur’an tidak memberikan banyak hal kepada para pembacanya. Dengan adanya tafsir Al-Qur’an berbagai ajaran dan petunjuk Al-Qur’an dapat difahami dan tentu saja dengan demikian akan meningkat ke ranah pengamalan.
Salah satu tafsir itu adalah tafsir dengan metode saintifik. Metode ini dapat memberikan pemahaman yang lebih rinci tentang isyarat-isyarat ilmiah yang disebut oleh Al-Qur’an. Tetapi apa yang dihasilkan melalui metode saintifik ini tidak boleh dipandanag sebagai sesuatu yang sudah final. Sifat ilmu selalu berkembang. Penemuan suatu teori baru akan menggugurkna teori lama. Hal ini tenbtu akan berakibat pada kebenaran.
penafsiran metode saintifik yang harus berobah pula mengikuti perobahan yang ada di ranah sains tersebut
oleh: Thobary Syadzily.
A. Pendahuluan Al-Qur'an diturunkan dalam bentuk bahasa Arab sebagai "Hudal Linnas (هدي للناس)”, sehingga dapat memberikan bimbingan dan petunjuk kepada manusia untuk berusaha memecahkan setiap permasalahan hidupnya (problem solving). Namun, hal itu memerlukan penafsiran Al-Qur'an secara baik dan benar berdasarkan pendekatan-pendekatan (approach) ilmu tafsir itu sendiri supaya orang-orang atau kelompok-kelompok manusia tidak mentafsirkan Al-Qur'an secara sembarangan berdasarkan kepentingan hawa nafsunya sendiri, yang akibatnya akan membawa kesesatan dan kehancuran Islam.
Dalam menafsirkan Al-Qur’an diperlukan “Thariqah at-Tafsir”, yaitu metode atau cara dalam menafsirkan Al-Qur’an. Ketepatan metode akan menghasilkan ketepatan tafsir. Sebaliknya kesalahan metode akan melahirkan kesalahan tafsir. Itulah sebabnya kajian tentang metode penafsiran merupakan aspek strategis dalam menggali dan menemukan kandungan Al-Qur’an itu sendiri.
B. Empat Metode Penafsiran Al-Qur’an
Para ulama tafsir menjelaskan bahwa terdapat empat metode dalam menafsirkan Al-Qur’an. Empat metode tersebut adalah:
1. At-Tafsir At-Tahlili (Tafsir Metode Analistis).
2. At-Tafsir Al-Ijmali (Tafsir Metode Global).
3. At-Tafsir Al-Muqarin (Tafsir Metode Komperatif).
4. At-Tafsir Al-Maudhu'i (Tafsir Metode Topikal).
Keempat metode ini dipakai oleh para mufassir sesuai dengan kecenderungan yang mereka miliki masing-masing terhadap metode tersebut.
Al-Tafsir At-Tahlili adalah tafsir dengan metode mengurai dan menganalisa ayat-ayat Al-Qur’an secara berurutan dengan membahas segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya. Di samping diberi nama tahlili metode ini juga dikenal juga dengan nama at-Tafsir at-Tajzi’i yang secara harfiah berarti penafsiran berdasarkan bahagian-bahagian.
Sebagai metode yang paling awal muncul dalam studi tafsir, metode tahlili ini memberikan perhatian sepenuhnya kepada semua aspek yang terkandung dalam ayat, mencakup :
- Al-Munasabah (hubungan) antara satu ayat dengan ayat yang lain, antara satu surah dengan surah yang lain, atau antara awal surah dengan akhirnya.
- Asbab an-Nuzul (sebab-sebab turunnya ayat-ayat suci Al-Qur’an) yakni latar belakang sejarah atau kondisi sosial turunnya ayat Al-Qur’an.
- Al-Mufradat (kosakata) atau lafal dari sudut pandang dan qaidah kebahasaan yang terdapat dalam bahasa Arab. Termasuk juga dalam langkah ini menelaah syair-syair yang berkembang pada masa sebelum dan waktu turunnya Al-Qur’an.
- Fashahah, bayan dan I’jaz yang terdapat dalam ayat ynag sedang ditafsirkan. Terutama ayat-ayat yang mengandung balaghah (keindahan bahasa).
- Al-Ahkam fil Ayat, dengan melakukan istinbath sehingga diperoleh kesimpulan hukum fiqh dari ayat yang sedang ditafsirkan.
- Al-Hadits yang menjelaskan maksud dari kandungan ayat Al-Qur’an, termasuk qaul sahabat dan tabi’in.
- Apabila tafsir bercorak saintifik maka pendapat-pendapat para pakar di bidangnya juga dijadikan rujukan oleh mufassir.
At-Tafsir Al-Ijmali, yakni metode tafsir yang mengemukan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an secara global. Dengan metode ini mufassir hanya menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara garis besar, tanpa perincian detail sama sekali. Oleh sebab itu penafsiran yang disajikan terasa ringkas dan padat, menyangkut kata-kata yang memerlukan penjelasan yang sangat diperlukan saja.
Adakalanya metode ijmali ini terkesan menterjemahkan kata saja. Tetapi penterjemahan di sini dimaksudkan memberi tafsir tentang kata yang sedang diterjemahkan itu, bukan hanya mengalih bahasa. Itu sebabnya metode ijmali terkesan membiarkan Al-Qur’an menjelaskan dirinya sendiri. Al-Qur’an sendirilah menjelaskan makna-makna sehingga lafadz-lafadz ayat-ayat Al-Qur’an menjadi lebih jelas.
Dalam menafsirkan ayat, mufassir juga terkadang memasukkan riwayat berkaitan dengan asbabun nuzul ayat yang sedang ditafsirkan. Kelihatannya menukil asababun nuzul ini tidaklah terlihat menjadi syarat mutlak dalam penafsiran ijmali. Namun pencantuman asbabun nuzul tersebut memberikan nilai tambah bagi metode ijmali ini. Tafsir klasik yang disajikan dengan metode ijmali ini antara lain adalah Tanwir al-Miqbas min Tafsir ibn Abbas, karya Ibnu Abbas dan Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, karya Imam Jalaluddin as-Suyuti dan Jalaluddin Al-Mahalli.
At-Tafsir al-Muqarin (tafsir perbandingan), yakni tafsir yang mempergunakan metode perbandingan (analogi). Apa yang diperbandingkan dalam tafsir al-muqarin ini ? Yang diperbandingkan adalah antara penafsiran satu ayat dengan penafsiran ayat yang lain, yakni ayat-ayat yang mempunyai kemiripan redaksi dari dua masalah atau kasus yang berbeda atau lebih, atau ayat-ayat yang memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama atau diduga sama. Juga membandingkan antara penafsiran ayat Al-Qur’an dengan hadits Rasulullah SAW serta membandingkan pendapat ulama tafsir yang satu dengan yang lain dalam penafsiran Al-Qur’an.
Namun satu hal perlu ditegaskan di sini bahwa at-Tafsir al-Muqarin hanya berfokus pada persoalan redaksi yang berbeda antara ayat-ayat Al-Qur’an, bukan dalam aspek pertentangan maknanya. Sebab dalam aspek makna, memang terdapat perbedaan, karena kosakata Al-Qur’an sering mengandung makna yang berbilang. Imam Al-Zarkasyi menginventaris terdapat delapan macam variasi redaski ayat-ayat Al-Qur’an, yakni perbedaan tata letak dalam kalimat, pengurangan dan penambahan huruf, pengawalan dan pengakhiran, perbedaan nakirah (indefinite noun) dan ma’rifah (definite noun), perbedaan bentuk jamak dan bentyuk tunggal, perbedaan penggunaan huruf kata depan, perbedaan penggunaan kosakata dan perbedaan penggunaan idgham (memasukkan satu huruf ke huruf yang lain).
Kitab tafsir yang termasuk ke dalam tafsir muqaran ini adalah The Quran and Its Interpreters, karya Mahmud Ayyoub. Tafsir ini mencoba memperbandingkan beberapa tafsir dari para mufassir yang berbeda latar belakang aliran, mazhab dan disiplin ilmunya, seperti Ibnu Araby (tafsir sufi), Ibnu Katsir (mazhab Syafi’I dan Salafi), Al-Wahidi (tafsir lughawi) Al-Qurthuby (mazhab Maliki), Al-Zamakhsyari (tafsir Mu’tazili), Al-Razy (tafsir Sunny), Al-Qumi dan Al-Thabrai (Syi’ah klassik), Thabathaba’I (Syi’ah modern) dan Sayyid Quthb (ijtima’i).
Al-Tafsir al-maudhu’i, atau tafsir tematik, adalah tafsir yang menggunakan metode tematik dalam menafsirkan Al-Qur’an. Yang dimaksud dengan tematik adalah suatu tema yang ditetapkan oleh mufassirnya dengan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan tema tersebut menjadi satu kesatuan dan melakukan analisis terhadap ayat-ayat tersebut secara spesifik dengan syarat dan langkah khusus. Tujuannya adalah untuk menemukan makna dan konsep, sesuai dengan tema yang sedang dibahas serta menarik hubungan satu dengan lainnya sebagai satu kesatuan.
Semangat esensial dari metode maudhu’i adalah mengajak Al-Qur’an untuk menjelaskan sendiri apa yang dimaksudnya. Dengan kata lain metode maudhu’i berupaya menangkap makna Al-Qur’an sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh Al-Qur’an sendiri, tanpa interfensi pemikiran mufassirnya terhadap tafsir tersebut. Pendek kata metode maudhu’i membiarkan Al-Qur’an berbicara tentang dirinya sendiri.
Kitab-kitab tafsir yang termasuk ke dalam tafsir maudhu’i ini adalah Al-Insan fil Qur’an dan Al-Mar’ah fil Qur’an karya Abbas Mahmud Aqqad, Ar-Riba fil Qur’an dan Al-Musthalahat al-Arba’ah fi al-Qur’an karya Abu Al-A’la al-Maududi
C. Lebih Jauh dengan Metode Tematik
Sebagaimana disebut di atas, metode tematik mempergunakan penafsiran dengan cara membiarkan Al-Qur’an berbicara tentang dirinya sendiri. Hal ini berimplikasi kepada cara menemukan ayat atau surah Al-Qur’an dalam satu kesatuan tema. Kesatuan tema itulah yang menuntun penafsiran sehingga ayat-ayat yang ditafsirkan itu tidak keluar dari apa yang diinginkan oleh tema yang sudah ditetapkan.
Dalam prakteknya, tafsir tematik dapat dibagi ke dalam dua kategori. yakni : Pertama, metode tematik yang berfokus pada satu surah al-Qur’an. Metode ini menafsirkan al-Qur’an dengan cara membahas satu surah tertentu dari al-Qur’an dengan mengambil bahasan pokok dengan menguraikan secara panjang lebar dari surah yang dimaksud.
Kategori tafsir tematik berdasarkan surah ini digagas pertama kali oleh Syaikh al-Azhar, Syaikh Mahmud Syaltut, yang menerbitkan tafsirnya Tafsir al-Qur’an al-Karim, pada Januari 1960. Syaltut menafsikan Qur’an ayat demi ayat, tetapi dengan jalan membahas surah demi surah atau bagian suatu surah, dengan menjelaskan tujuan-tujuan utama serta petunjuk-petunjuk yang dapat dipetik dari padanya. Walaupun ide tentang kesatuan tujuan dan isi petunjuk surah demi surah telah pernah dilontarkan oleh Asy-Syathibi (wafat 1388 M), tetapi perwujudan ide dalam satu kitab tafsir, baru dimulai oleh Mahmud Syaltut.
Kedua, metode tematik berdasarkan topik/subjek. Metode tematik subjek ini adalah menafsirkan al-Qur’an dengan cara menetapkan satu subjek tertentu untuk dibahas. Misalnya ingin mengetahui bagaimana konsep kufur menurut Al-Qur’an, atau wanita menurut Al-Qur’an. Metode tematik subjek ini pertama sekali digagas oleh Prof. Dr. Ahmad Al-Kumi, Ketua Jurusan Tafsir pada Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar.
Kemudian bermunculan kajian tafsir dengan mempergunakan metode tersebut di Universitas Al-Azhar. Antara lain apa yang ditulis oleh Prof. Dr. Al-Husein Abu Farhah yang menerbitkan karyanya Al-Futuhat al-Rabbaniyyah fi Tafsir Al-Maudu’i li al-Ayati al-Qur’aniyyah. Karya ini terbit dalam dua jilid dengan memilih sekian banyak topik yang dibicarakan Al-Qur’an. Juga pada masa ini dapat disebut karya Sayyid Quth Masyahid al-Qiyamah fil Qur’an.
Metode tematik semakin mendapat tempatnya dalam blantika kajian Al-Qur’an. Metode tersebut dikembangkan dan disempurnakan lebih sistematis oleh Prof. Dr. Abdul Hay al-Farmawi, pada tahun 1977. Beliau menulis kitabnya yang menjadi rujukan utama dalam metode tematik ini, yakni al-Bidayah fit Tafsir al-Maudu‘i: Dirasah Manhajiyah Maudu‘iyah. Di tangan Farmawy sistematika metodologis tafsir maudhu’i tersusun dengan sempurna, yang meliputi :
a. Menetapkan topik (maudhu’) yang akan dibahas.
b. Menghimpun seluruh ayat yang berkaitan dengan topik tersebut.
- Menyusun kronologis ayat sesuai dengan masa turunnya disertai penggalian asbabun nuzul ayat-ayat tersebut.
e. Menyusun pembahasan secara sistematis, runtut dan utuh.
f. Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadis yang relevan.
g. Menganalisis ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayat yang mempunyai pengertian sama, mengkiompromikan antara yang ‘am (umum) dan yang khas (khusus) antara yang mutlaq dan yang muqayyad, sehingga semua bertemu dalam satu pengertian, tanpa perbedaan dan pemaksaan.
Agaknya tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa akhir-akhir ini tafsir tematik ini menjadi trend yang mendapat perhatian luas di kalangan para penafsir Al-Qur’an. Berbagai kitab tafsir tematik dihasilkan oleh para mufassirnya.
Di Indonesia, tafsir tematik baru populer pada tahun 80an, sejak dibukanya program doctor pada Fakultas Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan IAIN Sunan Kalijogo Yogyakarta. Mulai saat itu muncul beberapa disertasi yang melakukan kajian tafsir dengan metode maudhu’i. Hal itu dimulai dari studi yang dilakukan oleh Dr. Harifuddin Cawidu dengan disertasinya berjudul Konsep Kufr dalam Al-Qur’an : Suatu Kajian Teologis dengan Pendekatan Tafsir Tematik. Disertasi ini diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang, Jakarta dengan cetakan pertama pada tahun 1991. Sesudah Konsep kufr ini, beberapa kajian tematik Al-Qur’an mulai bermunculan.
Namun, sebelum itu patut dicatat, sebuah karya yang bernuansa tafsir tematik pernah dihasilkan pada tahun 1977. Tafsir itu adalah karya Abdurrahman Syahab yang diberi judul Al-Qur’an dan Science (tafsir As Samawat). Sebenarnya kitab tafsir ini berasal dari artikel bersambung yang dimuat di dalam majallah Gema Islam dan Panji Masyarakat, pimpinan Buya Hamka.
D. Tafsir dengan Pendekatan Saintifik Tafsir dengan pendekatan saintifik ini disebut dengan At-Tafsir al-‘Ilmi. yakni penafsiran Al-Qur’an yang dihubungkan dengan ilmu pengetahuan atau sains. Ayat-ayat Al-Qur’an yang ditafsirkan dengan pendekatakan ilmiah ini lebih banyak tertuju kepada ayat-ayat penciptaan alam. Ayat-ayat penciptaan alam itu disebut dengan ayat-ayat kawniyah. Oleh sebab itu untuk melakukan tafsir saintifik ini, mufassir haruslah melengkapi dirinya dengan teori-teori sains.
Tafsir dengan metode saintifik ini didefinisikan sebagai “ijtihad atau usaha keras mufassir untuk mengungkap hubungan ayat-ayat kawniyah di dalam Al-Qur’an dengan penemuan-penemuan ilmiah yang bertujuan untuk memperlihatkan kemu’jizatan Al-Qur’an”. Dewasa ini, al-tafsir al’ilmi berkembang menjadi al-tafsir al-maudhu’i. Para mufassir memilah dan memilih ayat-ayat Al-Qur’an dan kemudian membahasnya berdasarkan disiplin ilmu dan kemudian menafsirkannnya berdasarkan terori-teorii lmiah.
Berdasarkan perkembangan al-tafsir al-‘ilmi tersebut di atas, maka terdapat berbagai penilaian para pakar tentang fungsinya terhadap Al-Qur’an. Yakni sebagai tabyin, pembuktian kebenaran mu’jizat Al-Qur’an dan memperkuat teori ilmu pengetahuan modern. Dalam fungsinya sebagai tabyin (penjelas), tafsir ini menjelaskan teks Al Quran dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang pada masanya. Berbagai penemuan sains dan teknologi diajak berbicara untuk dapat menjelaskan apa yang dimaksud ayat-ayat Al-Qur’an yang memberikan isyarat kearah itu.
Fungsinya sebagai pembuktian kebenaran Al-Qur’an sebagai mu’jizat mendapat tempat yang absah dalam penemuan ilmiah. Melalui penemuan ilmiah itu pembuktian atas kebenaran teks Al Quran dalam pandangan ilmu pengetahuan dapat diuji dan dijelaskan, yang pada giliran berikutnya dapat memberikan stimulan bagi umat Islam untuk mengembangkan diri dalam kajian-kajian ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan fungsinya untuk memperkuat teori ilmu pengetahuan modern dapat dilihat dari berbagai isyarat Al-Qur’an tentang fenomena alam.
Namun, al-tafsir al-‘ilmi tidaklah sepi dari kritik. Kritik tersebut terletak pada penemuan ilmiah yang tidak pernah berhenti. Sifatnya yang relatif dan nisbi membuat teori-teori ilmiah tidak mutlak dan absolut. Dalam bidang ilmiah apa yang dikatakan benar hari ini, sepuluh tahun yang akan datang akan mengalami revisi. Teori ilmiah dalam kurun waktu tertentu pasti mengalami perubahan. Teori lama akan digantikan oleh teori baru sesuai dengan penemuan terbaru dalam bidang bersangkutan.
Sebagai contoh teori tentang Tata Surya atau Bima Sakti. Teori lama susunan planet-planet yang terdapat dalam tata surya kita adalah sebuah matahari dan sembilan planet, yakni Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus dan Pluto. Tetapi dewasa ini Pluto tidak dimasukkan lagi ke dalam jajaran planet. Juga apa yang disebut oleh Al-Qur’an surah Az-Zumar ayat 6 : ”Ia ciptakan kamu dalam perut ibumu, penciptaan demi penciptaan dalam tiga kegelapan (fi zhulumatin tsalatsin)”. Dahulu kata zhulumatin tsalatsin diartikan perut, rahim dan tulang belakang. Dengan kemajuan ilmu kedokteran, tiga kegelapan itu adalah tiga selaput dalam rahim, yaitu chorion, omnion dan dinding uterus.
Di dalam penafsiran Al-Qur’an kata dzarrah konsep esensialnya adalah sesuatu yang paling terkecil. Pada tahun 20an Mahmud Yunus menafsirkan kata dzarrah dengan biji bayam. Pada tahun 1950 terbit tafsir Al-Qur’an al-Karim karya Zainuddin Hamidi dan Fachrudin HS yang menafsirkan kata dzarrah dengan debu. Pada tahun 1966 terbit Tafsir Al-Azhar yang menafsirkan kata dzarrah dengan atom. Kalau konsep dasarnya adalah seusatu yang terkecil, maka dalam sains sekarang ini atom tidak lagi yang terkecil. Atom sudah dapat dipecah lagi, bila dibawa ke laboratorium.
Oleh sebab itu tafsir dengan metode saintifik memang memberikan nilai tambah bagi pemahaman kita terhadap isyarat-isyarat ilmiah dalam Al-Qur’an. Pemahaman tentang apa yang disebut oleh Al-Qur’an dapat dikembangkan dan dijelaskan lebih rinci dan lebih terurai. Namun satu hal yang perlu disadari bahwa penafsiran yang diberikan terhadap isyarat ilmiah Al-Qur’an itu bukanlah kebenaran final, karena penemuan ilmiah tidak pernah berhenti. Dengan demikian maka tafsir saintifik yang dihasilkan oleh mufassir, tidak boleh dipandanag sebagai kebenaran mutlak.
Penutup
Tafsir Al-Qur’an memang sangat diperlukan. Tanpa tafsir Al-Qur’an, maka Al-Qur’an tidak memberikan banyak hal kepada para pembacanya. Dengan adanya tafsir Al-Qur’an berbagai ajaran dan petunjuk Al-Qur’an dapat difahami dan tentu saja dengan demikian akan meningkat ke ranah pengamalan.
Salah satu tafsir itu adalah tafsir dengan metode saintifik. Metode ini dapat memberikan pemahaman yang lebih rinci tentang isyarat-isyarat ilmiah yang disebut oleh Al-Qur’an. Tetapi apa yang dihasilkan melalui metode saintifik ini tidak boleh dipandanag sebagai sesuatu yang sudah final. Sifat ilmu selalu berkembang. Penemuan suatu teori baru akan menggugurkna teori lama. Hal ini tenbtu akan berakibat pada kebenaran.
penafsiran metode saintifik yang harus berobah pula mengikuti perobahan yang ada di ranah sains tersebut
oleh: Thobary Syadzily.
2 komentar:
Lengkap dan jelas, syukron
lengkap dan jelas kiyai, sukron
Posting Komentar